Senin, 26 Desember 2016

SAYANG [pt.3]



Maafkan Ibu jika tidak pulang malam ini, Ibu butuh sendiri. Sudah Ibu siapkan apa yang kamu perlukan untuk esok hari, daftar lengkap keperluanmu sudah Ibu catat dengan rinci. Ibu harap kamu mengerti, meski usiamu belum lagi matang, tapi dalam darahmu mengalir darah Ibu—darah manusia-manusia pemberani. Kamu pasti berani, berani untuk bangun pagi ini tanpa mendengar Ibumu bernyanyi (lagu yang itu-itu saja, maafkan Ibu sayang, Ibu hanya butuh semangat dari suara ceria Lennon dan McCartney), berani untuk berlari, berani untuk mengambil kesempatan baru, berani untuk bangun pagi ini dan Ibu telah pergi.
Ibu mengerti, tidak ada seorangpun di dunia ini yang senang hidup sendiri, terutama jika Ibumu yang pergi. Namun menjadi pendusta adalah hal terakhir yang dapat Ibu lakoni. Dalam darah Ibu mengalir dua darah pendusta yang handal, yang satu perempuan berbhakti yang memendam nyeri, yang lain adalah pria kesepian yang terperangkap sepi. Oleh sebab dusta yang mereka dengungkan setiap hari, hampir setiap hari, Ibu rela menjadi istri. Menjadi istri tanpa pengetahuan yang mumpuni. Tidak ada sayang, tidak ada seorangpun di muka bumi ini yang membantu Ibu untuk mengungkapkan dusta mereka. Ibu ngeri membayangkanmu suatu saat nanti mawujud seperti Ibu dan merasakan nyeri dari kepala sampai kaki—tidak sayang, Ibu tidak sampai hati. Maka itu relakan Ibu pergi, kepergiaan yang akan membuatmu sadar akan hakikat sebagai manusia sejati.

Sebagai perempuan Ibu dibelenggu ironi, mereka bilang inilah gunanya perempuan diciptakan Tuhan, dari tulang rusuk sang perkasa Adamas, untuk menjadi abdi, menjadi Ibu bagi penduduk bumi. Sebagai perempuan kita diatur untuk memilih Tuan yang tepat, tuan yang nantinya akan menggantikan Bapak sebagai pelindung. Sebagai perempuan kita terjerembab dalam pusara penantian akan surga dengan menjadi budak belian. Jangan dulu menggeleng nak, kita memang dibeli, jika tidak dengan mas kawin yang sesuai maka dengan buaian atau dalam kasus yang lebih rusak; kita dibeli dengan belaian. Belaian yang tidak sepadan dengan harga kebebasan. Belajarlah dari Ibumu nak, Ibu dibeli dengan belaian. Kamu mungkin mengira ini hanya pembenaran Ibu untuk lari. Tapi memang hanya sedemikian harga bagi Ibumu. Belaian yang mulanya terlihat seperti akar ketulusan yang kemudian menjelma kenikmatan. Hasilnya Ibu dan Ayahmu mendapatkan kamu, kamu yang kami anggap sebagai penyelamat. Nyatanya kami tidak selamat. Kami melumat namun diam-diam kehilangan hasrat. Ibu tidak lagi merasa suci ketika belaian itu datang, sementara Ayahmu bahkan tidak mampu merasakan sensasi nikmat.

Ibu tidak memintamu untuk cepat beradaptasi, adaptasi atas kepergian Ibu. Ibu tahu kamu akan melewati beberapa hari dengan keperihan; tapi perih itu temporari nak. Kesenangan dan penderitaan adalah rasa yang sementara, tidak ada yang abadi di dunia ini begitupun juga dengan perasaan. Jangan terjebak di dalamnya nak, hakikat sejati sebagai manusia adalah melepaskan keterikatan. Tidak ada satupun materi di dunia ini yang mampu mengikat manusia nak; tidak dalam perkawinan, tidak dalam hubungan darah, tidak dalam pertemanan...apalagi dengan tali. Manusia memiliki intelenjensi yang cukup tinggi untuk memutus ikatan tali bahkan hanya dengan gigi. Jadilah manusia seperti itu nak, manusia bebas yang tidak ada satupun makhluk lainnya yang mampu membelenggu. Ampuni Ibu karena menghadirkanmu sebagai perempuan, kamu membawa karma dua kali lebih besar sejak kamu dinobatkan sebagai pemenang. Namun ingatlah satu hal nak, dunia membutuhkan perempuan. Dunia membutuhkan kita, membutuhkan kalian. Bukan sebagai sapi ternak yang beranak pinak. Dunia membutuhkan perempuan sebagai penjaga keseimbangan, untuk menjaga manusia tetap berada di tataran kesadaran—sadar sebagai manusia. Manusia yang pada intinya sudah dilahirkan mulia, bukan hanya sekedar beranak. Takdirmu tidak berhenti disitu nak, menjadi perempuan bukan berarti harus sebanyak mungkin melahirkan. Bumi ini sudah terlalu sempit untuk dihuni jutaan bayi, dan sekarang dunia sudah menampung milyaran nyawa manusia. Jika kamu sayang pada Ibumu yang bodoh ini, hentikan pertumbuhan itu. Jangan jadikan dirimu selayaknya hewan ternak. Jadilah manusia nak, manusia yang bermartabat sebagai manusia.

Mengertilah bahwa Ibu tidak pernah berhenti untuk mencintai. Kamu adalah belahan jiwa Ibu, sekaligus harus Ibu akui; kamulah yang membuat Ibu bertekad pergi. Bukan karena Ibu tidak punya nyali, Ibu hanya tidak ingin melihat kalian menyalin jalan hidup Ibu. Jalan hidup yang seharusnya kalian tempuh tidak seperti yang kalian lihat setiap hari. Ibu hanya perempuan bodoh yang rela rahimnya selalu diisi, padahal sudah jelas Ibu mengerti, populasi adalah neraka di bumi. Meski demikian Ibu rela untuk melakukan kebodohan ini berkali-kali. Sampai hari ini, hari dimana Ibu memutuskan untuk mati. Ibu yang kamu lihat setiap pagi yang selalu menyenandungkan here comes the sun and I say it's all right adalah Ibu yang sedang berdusta. Tidak nak, hidup Ibu tidak baik-baik saja. Ibu terasing. Keterasingan membuat Ibu makin jeri. Maka Ibu lantunkan mantra itu setiap hari, hanya untuk memastikan bahwa apapun yang Ibu lakukan adalah yang terbaik dan dunia baik-baik saja. Nyatanya tidak, keterasingan itu mencekik Ibu semakin kuat, lilitannya menghujam langsung ke jantung dan menimbulkan panas di seluruh tubuh. Ibumu mati perlahan dalam diam. Diam yang Ibu harapkan mampu menyelamatkan perkawinan. Perkawinan yang kami dambakan dapat menjadi tempat teraman bagi kalian. Lagi-lagi kenyataan datang, bukan dengan niat jahat, meski tidak pula nikmat.

Kini setelah Ibu pergi, ijinkan Ibu untuk memohon kepadamu nak, belajarlah untuk menjadi manusia. Manusia seutuhnya, bukan hanya sekedar perempuan atau laki-laki. Belajarlah untuk merawat hatimu sebagai perempuan yang memiliki harga diri, pikiranmu sebagai manusia berintelenjensi, makhluk hidup paling mulia yang memiliki kemampuan untuk mawas diri. Jangan ikuti norma yang membelenggu Ibumu, jangan ikuti kewajiban yang menjerat Ayahmu. Sejatinya manusia hanya terkait dengan alam semesta, dan bukan terikat dengan penghuni bumi ini. Belajarlah untuk setia pada kemanusiaanmu, sadar akan entitasmu, dan waras akan eksistensimu. Ibu rasa sudah cukup Ibu memberikan rangkaian kata ini untuk kamu ingat sepanjang waktu. Maafkan Ibu yang tidak akan melihatmu memakai seragam sekolah atau memakai toga. Maafkan Ibu karena tidak akan melihatmu jatuh cinta kemudian patah hati lalu selamat sebagai umat manusia. Maafkan Ibu karena setelah Ibu pergi, kamu tidak akan pernah ada lagi.

Tapi ingatlah satu hal nak... here comes the sun and I say it's all right.

Sekarang berlarilah sayang, jadilah pemenang kembali, di rahim perempuan yang memiliki visi.
We love you so much.






*26-12-2015
untuk mereka yang kemenangannya dianulir

Minggu, 25 Desember 2016

SAYANG [pt.2]



Ibumu tergoda, tapi sang penggoda bukan setan berupa manusia atau malaikat yang baru saja ganti profesi sebagai iblis; dia manusia biasa. Berhati sepenuhnya seperti manusia, berjalan selayaknya makhluk berintelegensi, makan sehari tiga kali—sayangnya dia bertindak seperti malaikat yang sedang galau-galaunya. Makanannya hanya bisa dia telan ketika reaksi kimia sudah menutaskan tugasnya untuk memberi kedamaian, tidurnya hanya bisa lelap ketika dia menyelesaikan persetubuhan dengan ganja, hatinya hanya bisa tenang ketika anti depresan membungkam otaknya untuk diam. Dia sempurna sebagai manusia dengan sisa-sisa jiwa yang remuk.
Sudahkah aku sebutkan namanya nak?nama sang penggoda. Namanya Rudra, dan seperti arti namanya, Rudra memang selalu menangis, tangisan yang dipendam dalam teduh matanya. Tangisan yang muncrat kemana-kemana lewat keheningan dan keterasingan. Rudra membenci dunia, dunia membuatnya sesak, dunia terlalu penuh dengan manusia yang membuatnya kehilangan kemanusiaan. Rudra yang cengeng, Rudra yang membuat Ibumu kembali menikmati peran lain sebagai perempuan. Rudra yang membuat Ibu ingin mencurinya dari Ibu kandungnya. Kejahatan nak bukan hanya membunuh...kejahatan adalah keinginan untuk memiliki hak manusia lain. Dan Ibu memiliki niat jahat—semata-mata karena tergoda. Ibu ingin mencurinya nak, menaruhnya di hangat dada ini, membiarkannya mengambil seluruh kehangatan dan kembali menjadi bahagia.

Sayangnya Ibu tak sampai hati.
Namun Ibumu tergoda, tergoda puing-puing kemanusiaannya, puing-puing yang tersisa dalam senyumnya. Ah iya...Ibu tahu, ini kelemahan Ibu sebagai perempuan, Ibu tidak pernah mampu menolak seyuman, terutama jika senyum itu menawan dan penuh ketulusan. Ibu hanya perempuan biasa yang luluh lantak di hadapan senyuman. Tapi senyum pria ini memiliki sisi kemanusiaan. Suatu hari ada serangga di rumah Ibu, serangga kecil yang mampir lewat jendela, ibu melihatnya sebagai hama yang sudah sejatinya musnah, Rudra melihatnya sebagai serangga—yang juga memiliki hak hidup seperti kita, Rudra lepaskan serangga itu lewat jalan masuknya sambil membisikan kalimat perpisahan dan salam damai. Dan pada detik yang sama, senyum menawan itu memperlihatkan sisi kemanusiaan. Detik yang sama yang membuat benteng pertahanan Ibu jebol, benteng yang memang sudah keropos dan perlu direnovasi ini hancur bukan karena serangan rudal; kehancuran sederhana yang membuat Ibu membuka pintu atas dasar ketulusan.

Sayangnya Ibu tak sampai hati.
Di hari lainnya ketika Rudra datang, dengan bara di matanya, dengan airmata yang tertahan di lidahnya, Rudra terlihat kokoh dengan rajaman di tubuhnya. Rudra rebah dihadapanku, berteriak namun bungkam, bercerita dalam senyap. Rudra hancur, dan Ibu haru. Ibu membenci pria lemah, alasan itu yang membuat Ibu pergi dari Ayahmu, tapi dengan Rudra, Ibu melihat manusia yang bersusah payah menggapai jalan kemanusiaannya, meski sisa kemanusiaan yang Rudra punya hanya dua puluh persen, Rudra berusaha tetap menjadi manusia. Lalu hati Ibumu bergetar, hanya sejengkal lagi maka Ibu akan jatuh cinta—dengan jenis laki-laki yang selama ini Ibu wanti-wanti untuk tidak pernah kamu lakoni. Mulanya ini hanya sejenis godaan yang dengan mudah dapat Ibu lewatkan, kini godaan itu menjelma perasaan. Sejengkal lagi dan Ibumu akan jatuh dalam kubangan yang sama.

Sayangnya Ibu tak sampai hati.
Rudra tidak memerlukan perempuan yang jatuh cinta, jika Ibu sebegitu keji untuk memanjakan perasaan ini, Ibu hanya akan berakhir seperti Amba yang menghiba pada Bisma—Ibu tidak sampai hati membuatnya menarik busur untuk menghujam mati hati ini. Rudra memerlukan sosok Tara yang keibuan, yang tidak rela melihat Siwa mati keracunan. Tapi saat ini kemarahan Ibu seperti Kali, Ibu marah dengan kebengisan jenisnya yang tanpa ampun, Ibu muak dengan mereka yang bisa mencampur kemanusiaan dengan serendah-rendahnya kelakuan binatang, terutama Ibu muak karena sebagian laki-laki bahkan tidak mampu menjadi laki-laki. Dunia ini hampir hancur karena peranan ganda perempuan, dan kebusukan laki-laki menjadi pongah. Kemarahan Ibumu nak, seperti juga kemarahan perempuan yang hatinya hancur dan harga dirinya runtuh. Kemudian Rudra datang, di tengah kemarahan dan kesedihan, datang sebagai manusia rubuh yang menjelma bayi lucu. Ibu tergoda untuk menjadi tabib yang memberinya penawar racun. Kemarahan Ibu lenyap seketika, kepolosannya membuat Ibu bersimpuh.

Sayangnya Ibu tak sampai hati.
Jika Rudra adalah Siwa, maka Rudra menelan racun untuk umat manusia bukan untuk dirinya. Jika Ibu adalah Tara, maka Ibu menyusuinya karena tidak rela dunia kehilangan Mahadewa bukan semata-mata untuk memilikinya—memenangkan hatinya. Jika Ibu memandangnya sebagai manusia, maka Ibu tidak akan sampai hati menawan Rudra dalam jubah pasangan, atau pria yang butuh perlindungan, atau teman yang membutuhkan pertolongan. Rudra adalah Rudra. Rudra yang hancur lebur karena tidak sanggup mengahadapi dunia yang tidak lagi ideal. Rudra yang luluh lantak karena benci keramaian. Rudra yang membuat dirinya menderita untuk mencapai kemenangan. Lekas saja Ibu singkirkan kekuatan super perempuan untuk menjadi pahlawan. Ibu kembali menjadi perempuan yang ringsek digoda senyuman. Terjerat antara hasrat untuk memiliki dan keinginan untuk melindungi. Bagaimanapun kuatnya kami lantang menampik godaan, perempuan adalah makhluk halus yang hatinya mudah lumat.

Sayangnya Ibu tak sampai hati.
Ibu tidak tega membuat hati yang seharusnya kamu lihat perkasa, menjadi bubur tanpa rasa—hambar. Ibu tidak ingin melihat kamu tumbuh dan melihat perempuan seperti daun gugur yang warnanya tidak lagi cerah. Kelak ketika kamu mampu melihat kami secara keseluruhan, kamu akan melihat kami dalam berbagai jenis yang menakjubkan. Ada perempuan yang mati-matian membuat hatinya beku dan membatu, ada perempuan yang pasrah merelakan hatinya diguncang godaan, ada perempuan yang seperti Ibumu—yang bertekad menantang badai namun ribuan kali rebah dalam pelukan. Mana yang akan kamu pilih suatu saat nanti, perempuan kuat yang hatinya beku, perempuan lembut yang hatinya rapuh, atau perempuan getir yang berjuang untuk menjadi pemberani?itu pilihanmu nak. Sementara bagi Ibu, Ibu memilih untuk meninggalkan Rudra.  Rudra dan Ibu, sebagaimana nasib godaan yang selalu ada dalam hidup manusia, ia datang dan pergi. Periode godaan bergantung pada kuatnya sang penggoda dan ketahanan diri si tergoda. Jika sang penggoda memang memiliki intensi yang tekun maka ketahanan diri si tergoda yang menjadi kunci atas durasi godaan. Sebaliknya jika relasi kekuatan antara penggoda dan tergoda terlalu lemah—maka godaan itu akan berubah menjadi debu. Debu yang hanya mampir sebentar lalu hilang setelah selesai dibersihkan.
Untuk membersihkan godaan Ibu rela tidak mencecap manisnya cinta dan panasnya hasrat. Suatu saat kamu akan merasakan nikmatnya tertawan dalam sebuah penjara yang berisikan seluruh keinginan terpendam dengan teman satu sel paling seksi yang pernah kamu lihat. Tapi nak...penjara tetaplah penjara, penjara membuat hidupmu ciut, pikiranmu shut down, dan hatimu bolong-bolong. Jika kamu memanjakan dirimu sebagai penghuni penjara, maka ancaman hukuman repetisi akan menanti—dan percayalah pada Ibumu si perempuan getir ini, kegetiran yang kini bersarang dalam tubuh Ibu adalah hasil dari repetisi.

Ibu tidak sampai hati membuat hatimu penuh daki; kumpulan debu repetisi yang membuat kemanusiaanmu kotor dan tidak lagi suci.

Dalam pertemuan terakhir kami, ia menyisipkan kalimat perpisahan:
“Do not throw your pearls to pigs. If you do, they may trample them under their feet, and turn and tear you to pieces.”

Rudra memang manusia dan Ibu mencintainya nak...sayangnya Ibu tidak sampai hati melihat Ibumu dikalahkan hasrat dan memasukannya kembali dalam penjara.



*25-12-2015
Happy Birthday, J...and jingle every single way.

Kamis, 15 Desember 2016

In Memoriam...



“Hey there…”

Senyumnya, lesung pipinya, tattoo di lengannya, dan bagaimana saya menampik dua senyum malaikat di sisinya. Begitu manis, begitu bahagian. Godaan. Aduh kamu datang lagi. Padahal jelas-jelas saya benci kehadiran kamu, saya sudah bilang kan kalau saya bosan dengan kedatangan kamu, dengan kemunculan kamu yang selalu tiba-tiba—ditambah lagi dengan kejutan-kejutan yang makin tidak mengejutkan lagi. Saya mau kamu pergi, tapi kenapa kamu belum juga mau pergi. Kamu datang pagi-pagi kan?!?! Lalu kenapa kamu tidak pulang saja, tidakkah kamu lihat pagi tadi saya sedang gembira menyanyikan lagu sakit hati. Iya saya sudah mulai menikmati, menikmati bagaimana rasanya sendiri, tanpa ada setan yang pura-pura manis jadi malaikat, tanpa sapaan yang membuat darah kembali hangat.

“Yes it’s mine...I adore them so much too”
Setelah saya pura-pura gak bisa baca, setelah saya susah payah dingin, setelah saya pura-pura buta dan tidak melihat betapa senyum dua malaikat itu justru membuat hati saya lumer. Saya justru membaca lagi, dan kamu tetap datang, dengan catatan selalu pagi-pagi. Kenapa sih kamu tidak menyelinap saja tengah malam, atau paling tidak disaat saya sedang semaput, biar saya bisa skip ketemu kamu. Biar hati saya tenang sentausa tanpa perlu ada kamu. Kamu itu menjengkelkan…sudah ada yang pernah bilang begini belum ke kamu, tentang betapa menjengkelkannya kamu, tentang betapa mengesalkannya kamu, atau tentang betapa tidak pentingnya kamu ada—PERNAH TIDAK?!?...saya rasa tidak, karena kalaupun ada pasti jumlanya minor, dan di dunia penuh suara terbanyak ini, si minor pasti makhluk sengsara. Dan kamu si mayor, selalu punya kuasa.

”hey here’s my number, if you want to chatt, please feel free”

Dan tololnya saya persilahkan kamu masuk lagi, padahal nih padahal, kali terakhir kamu melenggang manis pergi begitu saja, menguap entah jadi kentut entah sendawa…yang jelas harusnya saya masih ingat waktu itu. Iya waktu itu, kamu ingat tidak, bagaimana kamu pergi begitu saja meninggalkan saya ternganga di ujung pintu. Kamu bahkan tidak mengucapkan “goodbye” atau “sayonara” atau sekedar “dadah” yang paling mudah. Kamu hanya berjalan dan tidak menengok ke belakang, tapi saya yakin kamu menyeringai kegirangan. Kamu sialan, dan saya pandir karena rela dijadikan korban kesialan. Saya ketik nomor kamu di tengah riuhnya bandara pagi hari. Saya ketik kata sapaan paling seksi di jam 6 pagi, saya sisipkan harap semoga kamu membaca dan still available. Nyatanya logika saya sudah mencoba mendobrak hati sejak saya beranikan diri membongkar identitas diri. Alarm tanda bahaya sudah berbunyi sedari tadi. Tapi saya luluh, bagaimana mungkin melawan arus godaan senyum yang kelewat menawan. Dan sejujurnya saya butuh bantuan untuk menghadapi sidang sialan siang ini.

”Hey its me, sorry baru contact, there’s something wrong with my gadget”

Lalu kamu masuk, masuk lagi, iya ke tempat yang sama. Duduk di sofa yang sama, makan dari dari piring yang sama, minum kopi dari cangkir yang sama, dan yang lebih parah lagi tattoo dengan gambar yang sama. Ada apa dengan kalian dan merajam tubuh dengan gambar yang itu-itu saja. Kalian semua mendendangkan lagu yang sama. Ritme gitar yang sudah bosan saya dengar ratusan kali, ketukan drum yang saya hapal di luar kepala, dan saya rasa kalian semua fasis sejati. Mungkin ketika Tuhan sedang ingin menguji kemampuan diri saya sebagai manusia, Tuhan punya template ujian untuk saya: tubuh semampai, mata berminus, tubuh penuh rajaman, dan senyum itu. Senyum bangsat yang sudah tahu pasti akan membuat saya terluka. Saya kurang paham antara korelasi tipikal dengan Tuhan yang sedang kehabisan daya kreasi atau mungkin lupa konsumsi ginko biloba—tapi bagaimana bisa kalian begitu serupa. Dan (lagilagi...saya suka kata sambung ini) saya pun menerima persamaan ini dengan lapang dada.


”Inget gak hari ini, hari pertama kamu chatt aku?”
”iya, yang kamu cuekin lama, baru dibales bulan januari”
”nyesel?”
”engga”
”yakin”
”mantap”

Lalu setelah setahun berlalu, saya tetap terjebak dengan senyum yang sama, lumatan yang sama, dan hangat tubuh yang sama. Saya dan godaan yang terkekang satu dengan lainnya. Saya yang kecanduan. Saya menolak masuk panti rehabilitasi. Saya yang dihujat sebagai tukang porak poranda. Sayangnya setelah setahun semua tidak lagi sama, kami berdua tidak pernah lupa berbagi suka dan luka, dan dia bukan lagi godaan yang datang dengan metode menggoda yang sama. Dia punya kekuatan untuk membangun dan menghancurkan secara bersamaan. Dan kita berdua—mencintai dan membenci dengan cara yang sama dashyatnya.

***


15 Desember 2015 – 15 Desember 2016
Setahun berlalu dan dia lagi dia lagi…