Maafkan Ibu jika tidak pulang malam ini, Ibu butuh
sendiri. Sudah Ibu siapkan apa yang kamu perlukan untuk esok hari, daftar
lengkap keperluanmu sudah Ibu catat dengan rinci. Ibu harap kamu mengerti,
meski usiamu belum lagi matang, tapi dalam darahmu mengalir darah Ibu—darah manusia-manusia
pemberani. Kamu pasti berani, berani untuk bangun pagi ini tanpa mendengar
Ibumu bernyanyi (lagu yang itu-itu saja, maafkan Ibu sayang, Ibu hanya butuh
semangat dari suara ceria Lennon dan McCartney), berani untuk berlari, berani
untuk mengambil kesempatan baru, berani untuk bangun pagi ini dan Ibu telah
pergi.
Ibu mengerti, tidak ada seorangpun di dunia ini yang
senang hidup sendiri, terutama jika Ibumu yang pergi. Namun menjadi pendusta
adalah hal terakhir yang dapat Ibu lakoni. Dalam darah Ibu mengalir dua darah
pendusta yang handal, yang satu perempuan berbhakti yang memendam nyeri, yang
lain adalah pria kesepian yang terperangkap sepi. Oleh sebab dusta yang mereka
dengungkan setiap hari, hampir setiap hari, Ibu rela menjadi istri. Menjadi
istri tanpa pengetahuan yang mumpuni. Tidak ada sayang, tidak ada seorangpun di
muka bumi ini yang membantu Ibu untuk mengungkapkan dusta mereka. Ibu ngeri
membayangkanmu suatu saat nanti mawujud seperti Ibu dan merasakan nyeri dari
kepala sampai kaki—tidak sayang, Ibu tidak sampai hati. Maka itu relakan Ibu
pergi, kepergiaan yang akan membuatmu sadar akan hakikat sebagai manusia
sejati.
Sebagai perempuan Ibu dibelenggu ironi, mereka bilang
inilah gunanya perempuan diciptakan Tuhan, dari tulang rusuk sang perkasa
Adamas, untuk menjadi abdi, menjadi Ibu bagi penduduk bumi. Sebagai perempuan
kita diatur untuk memilih Tuan yang tepat, tuan yang nantinya akan menggantikan
Bapak sebagai pelindung. Sebagai perempuan kita terjerembab dalam pusara
penantian akan surga dengan menjadi budak belian. Jangan dulu menggeleng nak,
kita memang dibeli, jika tidak dengan mas kawin yang sesuai maka dengan buaian
atau dalam kasus yang lebih rusak; kita dibeli dengan belaian. Belaian yang
tidak sepadan dengan harga kebebasan. Belajarlah dari Ibumu nak, Ibu dibeli
dengan belaian. Kamu mungkin mengira ini hanya pembenaran Ibu untuk lari. Tapi
memang hanya sedemikian harga bagi Ibumu. Belaian yang mulanya terlihat seperti
akar ketulusan yang kemudian menjelma kenikmatan. Hasilnya Ibu dan Ayahmu
mendapatkan kamu, kamu yang kami anggap sebagai penyelamat. Nyatanya kami tidak
selamat. Kami melumat namun diam-diam kehilangan hasrat. Ibu tidak lagi merasa
suci ketika belaian itu datang, sementara Ayahmu bahkan tidak mampu merasakan sensasi nikmat.
Ibu tidak memintamu untuk cepat beradaptasi, adaptasi
atas kepergian Ibu. Ibu tahu kamu akan melewati beberapa hari dengan keperihan;
tapi perih itu temporari nak. Kesenangan dan penderitaan adalah rasa yang
sementara, tidak ada yang abadi di dunia ini begitupun juga dengan perasaan. Jangan
terjebak di dalamnya nak, hakikat sejati sebagai manusia adalah melepaskan
keterikatan. Tidak ada satupun materi di dunia ini yang mampu mengikat manusia
nak; tidak dalam perkawinan, tidak dalam hubungan darah, tidak dalam
pertemanan...apalagi dengan tali. Manusia memiliki intelenjensi yang cukup
tinggi untuk memutus ikatan tali bahkan hanya dengan gigi. Jadilah manusia
seperti itu nak, manusia bebas yang tidak ada satupun makhluk lainnya yang
mampu membelenggu. Ampuni Ibu karena menghadirkanmu sebagai perempuan, kamu
membawa karma dua kali lebih besar sejak kamu dinobatkan sebagai pemenang.
Namun ingatlah satu hal nak, dunia membutuhkan perempuan. Dunia membutuhkan
kita, membutuhkan kalian. Bukan sebagai sapi ternak yang beranak pinak. Dunia membutuhkan
perempuan sebagai penjaga keseimbangan, untuk menjaga manusia tetap berada di
tataran kesadaran—sadar sebagai manusia. Manusia yang pada intinya sudah
dilahirkan mulia, bukan hanya sekedar beranak. Takdirmu tidak berhenti disitu
nak, menjadi perempuan bukan berarti harus sebanyak mungkin melahirkan. Bumi
ini sudah terlalu sempit untuk dihuni jutaan bayi, dan sekarang dunia sudah
menampung milyaran nyawa manusia. Jika kamu sayang pada Ibumu yang bodoh ini,
hentikan pertumbuhan itu. Jangan jadikan dirimu selayaknya hewan ternak.
Jadilah manusia nak, manusia yang bermartabat sebagai manusia.
Mengertilah bahwa Ibu tidak pernah berhenti untuk
mencintai. Kamu adalah belahan jiwa Ibu, sekaligus harus Ibu akui; kamulah yang
membuat Ibu bertekad pergi. Bukan karena Ibu tidak punya nyali, Ibu hanya tidak
ingin melihat kalian menyalin jalan hidup Ibu. Jalan hidup yang seharusnya
kalian tempuh tidak seperti yang kalian lihat setiap hari. Ibu hanya perempuan
bodoh yang rela rahimnya selalu diisi, padahal sudah jelas Ibu mengerti,
populasi adalah neraka di bumi. Meski demikian Ibu rela untuk melakukan
kebodohan ini berkali-kali. Sampai hari ini, hari dimana Ibu memutuskan untuk
mati. Ibu yang kamu lihat setiap pagi yang selalu menyenandungkan here comes the sun and I say it's all right
adalah Ibu yang sedang berdusta. Tidak nak, hidup Ibu tidak baik-baik saja. Ibu
terasing. Keterasingan membuat Ibu makin jeri. Maka Ibu lantunkan mantra itu
setiap hari, hanya untuk memastikan bahwa apapun yang Ibu lakukan adalah yang
terbaik dan dunia baik-baik saja. Nyatanya tidak, keterasingan itu mencekik Ibu
semakin kuat, lilitannya menghujam langsung ke jantung dan menimbulkan panas di
seluruh tubuh. Ibumu mati perlahan dalam diam. Diam yang Ibu harapkan mampu
menyelamatkan perkawinan. Perkawinan yang kami dambakan dapat menjadi tempat
teraman bagi kalian. Lagi-lagi kenyataan datang, bukan dengan niat jahat, meski
tidak pula nikmat.
Kini setelah Ibu pergi, ijinkan Ibu untuk memohon
kepadamu nak, belajarlah untuk menjadi manusia. Manusia seutuhnya, bukan hanya
sekedar perempuan atau laki-laki. Belajarlah untuk merawat hatimu sebagai
perempuan yang memiliki harga diri, pikiranmu sebagai manusia berintelenjensi,
makhluk hidup paling mulia yang memiliki kemampuan untuk mawas diri. Jangan
ikuti norma yang membelenggu Ibumu, jangan ikuti kewajiban yang menjerat
Ayahmu. Sejatinya manusia hanya terkait dengan alam semesta, dan bukan terikat
dengan penghuni bumi ini. Belajarlah untuk setia pada kemanusiaanmu, sadar akan
entitasmu, dan waras akan eksistensimu. Ibu rasa sudah cukup Ibu memberikan
rangkaian kata ini untuk kamu ingat sepanjang waktu. Maafkan Ibu yang tidak
akan melihatmu memakai seragam sekolah atau memakai toga. Maafkan Ibu karena
tidak akan melihatmu jatuh cinta kemudian patah hati lalu selamat sebagai umat manusia.
Maafkan Ibu karena setelah Ibu pergi, kamu tidak akan pernah ada lagi.
Tapi ingatlah satu hal nak... here comes the sun and I say it's all right.
Sekarang berlarilah sayang, jadilah pemenang kembali,
di rahim perempuan yang memiliki visi.
We love you so
much.
*26-12-2015
untuk mereka yang kemenangannya dianulir